Kredit Plus x IPB: Your Story Matters – Ubah Perjalanan Anda Menjadi Kekuatan Karir

21 Oktober 2025

Banyak fresh graduate dan pencari kerja kini menghadapi paradoks: CV sudah diisi dengan IPK tinggi, pengalaman organisasi, dan berbagai sertifikasi, namun panggilan wawancara tak kunjung datang, atau selalu gagal di tahap tersebut. Mengapa ini terjadi?

Dalam sesi webinar "Your Story Matters: How to Turn Your Journey into Career Strength" yang diadakan oleh Kredit Plus dan IPB, seorang praktisi rekrutmen menyoroti satu masalah utama: banyak kandidat dengan CV mentereng gagal "mendeliver" atau menyampaikan nilai mereka secara lisan saat wawancara.

"Saya sering bertemu kandidat yang di CV-nya bagus, tapi ketika interview, apa yang mereka tampilkan beda jauh," ungkapnya. "Sebaliknya, kandidat dengan pengalaman lebih sederhana namun bisa menceritakan dengan jelas dan runut, justru lebih mudah saya ingat."

Wawancara bukanlah ujian yang menuntut kesempurnaan, melainkan sarana bagi perekrut untuk melihat cara Anda berpikir, belajar, dan beradaptasi. Kuncinya bukan pada seberapa "spektakuler" pengalaman Anda, tetapi seberapa baik Anda mengemasnya.

Saat perekrut berhadapan dengan puluhan kandidat yang punya kualifikasi serupa, storytelling (kemampuan bercerita) menjadi pembeda utama.

  • Memberikan Bukti Nyata, Bukan Sekadar Klaim Daripada hanya berkata, "Saya orangnya cepat belajar," ceritakan sebuah kisah yang membuktikannya. Misalnya, "Saat di organisasi, saya diberi tugas A yang belum pernah saya tangani. Saya inisiatif mencari referensi dan bertanya ke senior, hasilnya tugas itu selesai tepat waktu." Cerita ini adalah bukti nyata dari skill Anda.

  • Membedakan Anda dari Kandidat Lain Latar belakang pendidikan dan skill teknis fresh graduate seringkali mirip. Kemampuan menceritakan pengalaman Anda—bagaimana Anda menghadapi masalah—adalah hal yang unik dan membuat Anda lebih menonjol.

  • Membangun Koneksi Emosional Perekrut juga manusia. Cerita yang jujur dari pengalaman sehari-hari (bahkan cerita kegagalan) akan terasa relatable dan membangun koneksi, sehingga Anda lebih mudah diingat.

Banyak kandidat takut bercerita karena merasa "tidak punya cerita yang menarik". Padahal, cerita yang paling kuat seringkali datang dari pengalaman sederhana. Pengalaman mengerjakan tugas kuliah atau skripsi, misalnya, bisa digunakan untuk menunjukkan kedisiplinan saat menghadapi deadline yang mepet, atau skill komunikasi dan follow-up saat berhadapan dengan dosen yang sulit dihubungi. Begitu pula dengan pengalaman organisasi atau magang, yang bisa menjadi bukti kemampuan teamwork dan leadership saat Anda menceritakan proses koordinasi tim atau pengambilan keputusan. Bahkan, pengalaman freelance bisa menunjukkan time management yang luar biasa, dan cerita kegagalan (seperti gagal lomba) justru bisa menonjolkan kemauan belajar serta kesadaran diri Anda.

Masalah umum kandidat adalah mereka punya cerita, tapi tidak tahu cara menyampaikannya. Ceritanya melompat-lompat, terlalu panjang, atau terlalu pendek. Agar cerita Anda jelas dan runut, gunakan Metode STAR:

  • S - Situation: Berikan konteks atau latar belakang singkat. (Kapan? Di mana? Siapa yang terlibat?)

  • T - Task: Jelaskan apa tugas, peran, atau tantangan spesifik Anda dalam situasi tersebut. (Apa target Anda?)

  • A - Action: Jelaskan langkah-langkah spesifik yang ANDA ambil (fokus pada "Saya", bukan "Kami"). Ini adalah inti dari cerita Anda.

  • R - Result: Jelaskan apa hasil akhirnya. (Apa pencapaiannya? Apa dampaknya? Apa yang Anda pelajari?)

Kesalahan paling umum adalah kandidat terlalu fokus pada Situation (Situasi) dan Result (Hasil), namun melupakan Action (Tindakan). Perekrut tidak bisa menilai Anda jika Anda tidak menjelaskan apa yang Anda lakukan untuk mencapai hasil tersebut.

Storytelling yang hebat akan percuma jika tidak relevan dengan posisi yang Anda lamar. Perekrut berperan sebagai "Biro Jodoh" yang mencocokkan kandidat dengan kebutuhan perusahaan. Langkah pertama adalah "membedah" deskripsi pekerjaan (job description) untuk memahami skill apa yang sebenarnya dicari. Sebagai contoh, job desk Social Media Specialist yang bertugas "membuat content planning" dan "berkoordinasi dengan desainer" secara implisit menunjukkan kebutuhan akan skill planning, kreativitas, dan kerja sama tim. Setelah skill kunci teridentifikasi, siapkan 2-3 cerita paling relevan dari pengalaman Anda (baik itu kuliah, magang, atau organisasi) yang paling kuat menunjukkan skill-skill tersebut.

Sesi tanya jawab juga mengungkap beberapa wawasan penting. Mengenai stigma "kutu loncat" atau sering berpindah kerja, dijelaskan bahwa hal tersebut bukanlah poin buruk secara otomatis. Perekrut akan lebih fokus pada kesesuaian (alignment) antara skill kandidat dengan kebutuhan peran, daripada hanya menghakimi masa kerja yang singkat. Hal ini juga berlaku untuk yang ingin pindah jalur karir (lintas jurusan). Peluang itu sangat terbuka, asalkan kandidat bisa membuktikan keseriusannya, misalnya dengan mengambil kursus baru, membangun portofolio proyek, atau bahkan memulai kembali dari magang. Ketika ditanya mengenai hard skill vs soft skill, narasumber menekankan keduanya penting dan saling melengkapi, seperti soft skill "terorganisir" yang diperkuat dengan hard skill "jago Excel". Terakhir, untuk menghadapi pertanyaan sulit, lebih baik jujur jika tidak memiliki pengalaman yang ditanyakan, lalu tawarkan cerita dari pengalaman lain yang relevan dan mirip.

Pada akhirnya, wawancara kerja adalah panggung Anda. Pengalaman Anda, baik itu sukses atau gagal, telah membentuk Anda. Storytelling adalah cara Anda untuk membuktikan bahwa perjalanan unik Anda adalah kekuatan yang Anda bawa untuk masa depan.

Penulis : Ayu Aulia Fitriani Riyanto