Pertanian Berbasis Kearifan Lokal Dukung Pariwisata Budaya Berkelanjutan

Berita Umum | 30 Nopember -0001 00:00 wib Pertanian Berbasis Kearifan Lokal Dukung Pariwisata Budaya Berkelanjutan

Bali (AlumniIPb.org) – Dewan Pengurus Pusat Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor (DPP HA IPB) bekerja sama dengan Dewan Pengurus Daerah (DPD) HA IPB Bali, Career Development and Alumni Affair (CDA) IPB dan Konsorsium Riset Pariwisata Universitas Udayana, menggelar seminar dengan tajuk “Pertanian Berbasis Kearifan Lokal Mendukung Pariwisata Budaya Berkelanjutan” di Hotel Santika, Kuta, Bali, pada Minggu (30/10).

 Seminar ini menghadirkan para praktisi pariwisata, yaitu Tjokorde Oka Ardhana yang pernah menjabat Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Bagus Sudibya dan I Gusti Sudaratmadja yang menjabat Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Badung.

Tjok Oka Ardhana, yang akrab disapa Cok Ace mengatakan, perlu sinergi pengembangan pertanian yang berbasiskan kearifan lokal untuk mendukung pariwisata budaya berkelanjutan.

“Sinergi pertanian dan pariwisata yang baik akan meningkatkan pendapatan masyarakat tapi tidak destruktif terhadap alam,” kata Cok Ace.

Ia mencontohkan, Jatiluwih sebagai destinasi wisata dengan sawah bertingkat dan sistem pengairan tradisional Bali, mengandung kearifan lokal yang menghasilkan pesona keindahan dan daya tarik bagi wisatawan. Jatiluwih baru diresmikan tahun 2012, namun sudah mampu menghasilkan pendapatan Rp34 Miliar pertahun.

“Pengembangan pertanian di Bali memang perlu disinergikan dengan unsur budaya dan industri pariwisata. Agar memberikan nilai tambah untuk petani,” papar Cok Ace.

Menurutnya, terdapat tiga kendala dalam upaya revitalisasi pertanian di Bali. Pertama, paradigma di masyarakat yang menggambarkan pertanian identik dengan kemiskinan, kemunduran dan orientasi masa lampau. Kedua, persepsi pengusaha yang mengelompokkan pertanian sebagai produsen sehingga dianggap kurang menguntungkan secara ekonomi. Ketiga, fokus pemerintah yang masih bertumpu pada peningkatan kualitas pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD), bukan pada pemerataan.

Sehingga, lanjut Cok Ace, kendala tersebut mendorong petani untuk meninggalkan profesinya dan lebih memilih peruntungan di sektor industri pariwisata karena profesinya selama ini dianggap tidak dapat meningkatkan taraf kesejahteraan hidup.

Alih profesi tersebut diikuti juga dengan maraknya alih fungsi lahan. Di Kabupaten Badung, misalnya, selama 5 tahun terakhir terjadi alih fungsi lahan rata-rata 10 hektar per tahun. Saat ini, luas lahan pertanian di Badung sekitar 330 hektar. Salah satu penyusutan lahan paling parah terjadi di kawasan Kuta Utara.

 

Cok Ace mengatakan, untuk menarik wisatawan dan konsumen produk pertanian diperlukan terobosan. Ia memberi contoh pengembangan Kota Batu oleh Walikota Eddy Rumpoko yang berani membuat branding Kota Wisata Batu (KWB) melalui wisata pertanian dan pengolahan hasil pertanian yang berbasis pada keunggulan lokal serta menjalin kerjasama dengan Jatim Park.

Praktisi pariwisata, Bagus Sudibya, menyarankan agar para pakar di bidang pertanian tidak berfokus pada peningkatan kuantitas produksi saja, perlu memperhatikan aspek lain yang bisa meningkatkan nilai tambah. Mendorong inovasi untuk menghasilkan produk unggulan dan produk bernilai tambah serta memperhatikan tren konsumsi global.

“Misalnya pengolahan anggur menjadi minuman, yang akan mempunyai harga jual yang lebih baik dibandingkan menjual dalam bentuk buah segar. Atau maraknya masyarakat yang mulai menyukai produk-produk organik dijadikan peluang,” kata Bagus.

Dengan kendala yang dihadapi, Bagus Sudibya menilai prosek pengembangan pertanian di Bali masih sangat menjanjikan.

“Dengan catatan jumlah wisatawan mancanegara 4 juta orang, ditambah dengan penduduk Bali sendiri, kebutuhan produk pertanian cukup besar. Sekarang saja, kita banyak mendatangkan produk dari luar,” ujarnya.

I Gusti Sudaratmadja, Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Badung, membenarkan perlunya menjadikan aspek budaya dan pariwisata sebagai pertimbangan dalam pengembangan pertanian di Bali. Ia mencontohkan penyelenggaraan Festival Budaya Pertanian (FBP) di Badung Utara, yang menjadi media advokasi, promosi dan transaksi bisnis hingga Rp 8,2 miliar. (Ric/R1)

- See more at: http://www.alumniipb.org/newsreader/1052#sthash.DpPdLdNl.dpuf

Dilihat 2598 kali
Link